Diskusi Buku Oleh Pakar Ahli
Pembicara
: 1) Lutfi Assyaukanie, Ph.D (Jaringan Islam Liberal)
2) Dr. Syafa’atun Al-Mirzanah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
3) Dr. Rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid (Fak. MIPA UGM Yogyakarta)
2) Dr. Syafa’atun Al-Mirzanah (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
3) Dr. Rer.nat. Muhammad Farchani Rosyid (Fak. MIPA UGM Yogyakarta)
Sejak
dahulu kala agama dan sains merupakan dua sistem besar pemikiran manusia dalam
menjalani kehidupan. Baik agama dan sains telah tumbuh setua sejarah manusia.
Agama sangat berpengaruh dalam perilaku manusia. Sementara sains menyentuh
kehidupan manusia melalui hal praktis seperti teknologi. Agama dan sains adalah
dua kekuatan yang amat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu Alfred
North Whitehead mengatakan “ when we consider what religion is for mankind, and
what science is, it is no exaggeration to say that the future course of history
depends upon the decision of this generation as the relations between them”.
Agama dan sains teramat penting bukan karena keduanya menyajikan jawaban
tentang kehidupan sehari-hari, tetapi juga pertanyaan fundamental mengenai
eksistensi alam dan isinya. Bagaimana jagad daya diciptakan bagaimana pula ia
akan berakhir ? Kapan dan dari apa asal usul manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini
tidak hanya dilakukan oleh agama, tetapi sains juga ikut memberikan penegasan
artikulatif dalam memecahkan persoalan tersebut. Tegasnya bahwa pertanyaan
eksistensial tentang jagad raya (kosmologi) tersebut mendapatkan penegasan dari
dua sistem berpikir ini.
Dari sini pula pertentangan antara sains dan agama terdokumentasikan dalam
sejarah. Ilmuwan dan teolog mendekati persoalan yang sama tetapi dengan titik
berangkat yang berbeda. Sains bekerja berdasarkan atas eksperimen dan observasi
cermat, sementara teolog membangun teorinya melalui wahyu dan hikmah kebenaran
agama. Perbedaan yang tidak pernah didialogkan ini menimbulkan kritik dari
ilmuwan sekaligus pandangan kecurigaan dari para teolog. Mulai dari kasus
Galileo (1564-1642), Copernicus (1473-1543), Newton (1642-1727), dan Darwin
(1809-1882) sampai era teknologi tinggi saat ini sains modern memberikan
pemahaman yang dingin yang seringkali dianggap mengancam
kepercayaan-kepercayaan agama. Pada perkembangan selanjutnya timbul suatu pra
sangka bahwa sains dan agama tidak bisa disejajarkan dan berdiri secara
antogonistik. Perasaan semacam ini terus bertahan selama berabad-abad sampai
nanti ada arus baru untuk mendialokan agama dan sains.
Drama kecurigaan dan pertentangan tersebut kembali muncul. Adalah Stephen
Hawking, Fisikawan dari Inggris, kembali mengejutkan dunia dengan karya
terbarunya bersama Leonard Mladinow, The Grand Design; New Answers to the
Ultimate Questions of Life. Tokoh yang terkenal dengan beberapa teori popular
dalam bidang fisika seperti teori gravitasi kuantum, lubang hitam dan radiasi
Hawking, melalui buku terbarunya tersebut, kembali memberikan tantangan besar
bagi umat beragama bahwa alam semesta bukanlah diciptakan oleh Tuhan, tetapi
hukum gravitasi mampu mengadakan alam semesta dengan sendirinya dari
ketiadaannya. Seakan ingin membantah pada teori fisikawan sebelumnya seperti
Newton, Hawking memberikan teori baru dalam menjelaskan proses penciptaan alam
semesta yang disebut dengan teori M. Dalam buku tersebut Hawking menulis bahwa
“karena adanya hukum gravitasi, alam semesta bisa dan akan tercipta dengan
sendirinya. Penciptaan yang spontan itu adalah alasan mengapa sesuatu itu ada,
mengapa alam semesta itu ada, mengapa kita ada.” Kemudian dilanjutkan dengan
“Tidak perlu membawa-bawa Tuhan seolah-olah Ia yang memicu terciptanya alam
semesta”.
Penegasan-penegasan tersebut jelas memberikan hentakan ketidaksepakatan dari
kalangan agamawan. Buku baru tersebut hadir di hadapan publik sebagai buah
bibir yang controversial. Tidak ayal apabila disebutkan bahwa seakan-akan
Hawking telah menabuh kembali perang lama antara sains dan agama. Tentu saja
bukan itu tujuan Hawking yang sebenarnya. Hawking harus tetap diposisikan
sebagai ilmuwan yang telah berpetualang dalam mencari jawaban misterius dari
pertanyaan-pertanyaan alam semesta. Buku yang telah di-release pada awal
September 2010 tersebut seakan memberikan peta baru bagi dialog agama dan
sains. Lahir secara kontroversial, buku tersebut bisa jadi memberikan warna
baru dari pemetaan relasi agama dan sains ala Barbour. Terlepas dari berbagai
pro-kontra, buku tersebut tentu saja akan memberikan perspektif baru dalam
sains terutama fisika dan akan menimbulkan tafsir baru dari kalangan agamawan.
Bagaimana kita memandang karya tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar